Rabu, 10 September 2014

Menjadi Indonesia?

Saya membeli buku berjudul "Menjadi Indonesia, karya Parakitri T. Simbolon" saya membelinya bertahun-tahun lalu. Selepas debat capres putaran 5, terakhir, kemarin. Entah kenapa ingin rasanya mebaca ulang buku ini. Rasanya,.. ada yang salah. Rasanya,.. kita tak Indonesia lagi.



Berdebat itu sejatinya memang upaya mempertahankan pendapat, ide, mimpi atau apalah itu. Tetapi orang seringkali lupa menempatkan debat, berdebat itu seni. Oleh karenanya butuh kepintaran tak saja keluasan pengetahuan materi perdebatan, tetapi lebih dari itu, dibutuhkan kehalusan perasaan untuk: menentukan apakah mesti diucapkan atau tidak diucapkannya sebuah kalimat; apakah kita harus bermimik serius ataukah santai; bagaimana gerak tubuh dan seterusnya. Kehalusan budi inilah yang kemudian akan membuat orang menjadi tertarik atau tidak terhadap ide yang dipertahankan. Seringkali kita akan dihadapkan pada fakta orang tak lagi melihat isi ucapan, tapi penampilan pengungkap ide. Pernah nonton film Schindler's List karya   Steven Spielberg? Film yang diangkat dari novel Schindler's Ark karya Thomas Keneally  ini menampilkan satu adegan menarik, percakapan antara Schindler dan seorang german lain. Mereka mengomentari penampilan pertama Hitler di komunitas Nasionalis jerman (kedai bir tempat orang-orang nasionalis berorasi) waktu itu Hitler bukan siapa-siapa, hanya seorang pengunjung, tapi mendapat sambutan yang baik dari para pendengar. Yang menggelitik adalah komentarnya "Kalau mendengar Hitler bicara, rasanya seperti mendengarkan harapan besar, saya bertepuk tangan keras sekali. Dan saya lihat orang lainpun begitu. Tetapi kalau saya sampai dirumah, dan mengingat-ingat lagi ucapannya. Saya bingung, kenapa ucapannya hanya kumpulan makian dan sumpah serapah?"
Tetapi itulah inti dari berbicara di muka umum. Membuat pendengar lupa dimana posisinya lalu menggeserkannya menjadi sepaham dengan ide yang kita ungkapkan. Tak banyak orang memiliki kemampuan menarik ini. Tetapi orang juga seringkali salah melihat. Orang banyak sering menyebut orator, pembicara yang gegap gempita lah, person satu-satunya yang memiliki kemampuan ini. Orang mungkin lupa banyak tokoh yang lemah lembut tapi berhasil membuat pendengarnya terhipnotis. Beberapa waktu lampau kita mungkin ingat pernah punya tokoh model ini. Abdullah Gymnastiar, kalau beliau berbicara jarang keras-keras. Bicaranya lembut tapi siapa yang lupa bagaimana ia dielukan oleh para pendengarnya? atau mungkin kita punya tokoh yang aneh satu lagi Quraish Shihab, Tokoh satu ini kalau sedang menjelaskan Al Qur'an tidak dengan gegap gempita, tidak dengan lucu-lucuan (seperti kebanyakan da'i muda sekarang) Tapi anehnya, jarang kita melihat para pendengarnya terkantuk-kantuk kan?
Jika begitu, kita akan berhadapan dengan dua kesimpulan. Untuk menyampaikan ide itu butuh pendekatan yang sejatinya memang merupakan gaya asli yang bersangkutan - tak meniru. Setiap orator ulung paham betul intonasi yang dia butuhkan. Tak segala hal mesti diungkapkan dengan semangat berkobar, bisa juga dilakukan dengan santai dan lemah lembut. Pengetahuan yang cukup tentang pendengar dan apa yang ingin mereka dengar ini lah yang memang penting. Hal ini akan berlanjut pada pentingnya apa yang mesti diucapkan, dan untuk segmen pasar mana yang ingin kita raih. Sebagai marketer ide, kemampuan memilah segmen ini menjadi penting.
Ada dua catatan penting dari debat calon presiden putaran 5 ini dalam hubungannya dengan pengantar saya:
  1. Segmen yang ingin diraih. Kedua belah pihak tampaknya sama-sama tidak melebarkan segmen pemilihnya. Pasangan no urut 1 mas Prabowo dan Bang Hatta, masih berkutat pada upaya mempertahankan segmen pemilihnya yang mampu memahami wawasan bernegara secara makro. Oleh karenanya pasangan ini lebih banyak bicara negara secara makro. Ide-idenya bersifat pundamental, mendasar. Hal ini tentu akan mudah dipahami oleh segmen mereka selama ini, kelas menengah Indonesia. Tetapi jika dihadapkan pada "rakyat" yang dikonotasikan sebagai kelas bawah Indonesia, menyampaikan hal ini seringkali sia-sia. Apalagi jika menggunakan istilah-istilah ekonomi (baca: asing) dalam memaparkan idenya. Bagi kelas bawah indonesia ini menjadi tidak bermakna. Bertolak belakang dengan itu, mas Jokowi dan pak JK lebih menyasar ide-ide yang sederhana dan aplikatif. Bagi "wong cilik" (sebutan untuk kelas bawah Indonesia, dulu sering disebut "marhaen"), pemimpin model inilah yang mereka tunggu-tunggu. Pemimpin yang jangka pendek, yang bisa menyelesaikan masalah mereka sekarang! Dari sisi cawapresnya, bang Hatta memang birokrat-konseptual, sedangkan pak JK lebih mirip pelaku Honda-Way. Saling bertolak belakang.  Sehingga konsep pembangunan keduanya juga tentu akan berbeda. Bang Hatta akan lebih tertarik pada perencanaan-perencanaan jangka panjang, sengakan pak JK jenis birokrat yang langsung datang ke tempat masalah, berusaha menyelesaikannya lalu baru membuat kerangka konsep untuk masa depan, untuk jenis masalah yang komplementer. Kalau kita menilik upaya para pihak yang sedang bertarung dalam pilpres ini, tampak sekali kedua pihak tidak melakukan upaya keluar dari segmen mereka masing-masing. Yang ada lebih cenderung upaya untuk menjaga jangan sampai simpatisan tradisional masing-masing mereka tak berkurang. Upaya sporadis? ada juga. Tapi tampak tak efektif dan malah memancing kontroversi yang tak perlu. Konsep pundamental "revolusi mental" yang sangat ideologis ini dari mas Joko misalnya. Tampak tidak efektif mengaet segmen kaum menengah Indonesia yang terbiasa diajak berdiskusi hal-hal yang bersifat mendasar. Begitupun upaya mendekati "wong cilik" dari kubu mas Probowo, lebih sering dicibir sebagai upaya sesaat pemilu alih-alih dipandang sebagai upaya jujur mewakili mereka. Bahkan seringkali upaya ini menjadi salah kaprah dilapangan menjadi money politics. Yang paling lucu adalah upaya masing-masing pihak untuk menarik kaum santri-agama. Sampai-sampai upaya yang dipaksakan seperti memimpin shalat berjamaah, sering mengucapkan kalimat berbahasa arab, dikalungi sorban oleh kyai dst. Yang jadi pertanyaan apa itu kemudian menjadi representasi rakyat terhadap kebutuhan pemimpinnya? Jangan-jangan upaya ini malah menjadi bahan tertawaan dan yang ditakutkan adalah terpecahnya ummat. Lagi pula, sebagai muslim kelas teri, muslim yang pemahaman agamanya miskin,.. terus terang saya merasa tersinggung agama yang begitu saya hormati dijadikan mainan semata. Sejelek-jeleknya saya dalam ber-Islam,.. rasanya saya tak seberani mereka. Dari catatan ini bisa kita ambil kesimpulan kedua belah pihak gagal memperlebar segmen masing-masing. Mengecil atau membesarnya elektabilitas kedua pasangan ini akhirnya lebih dikarenakan makin banyaknya berita yang menampilkan karakter dan gaya masing-masing kandidat (termasuk para pendukungnya) di detik-detik terakhir. Data ini lah yang kemudian akan membuat perubahan, makin besar efek beritanya, makin besar efek pergerakan suaranya.
  2. Tentang ke-Indonesiaan. Saya mendengar beberapa kali kalimat "saya orang Indonesia,.. dst" Seakan mau menunjukkan "Loe bukan Indonesia!" Tetapi ada beberapa segmen yang menurut saya tampak tak Indonesia, terlalu barbar untuk ditunjukkan di muka umum. JANGAN LUPA, INI DEBAT PILPRES BUNG! BUKAN LOMBA DEBAT ANTAR SISWA SMA!  Pilihan materi pertanyaan di sesi ke 5, pilihan kata dalam menjawab, pilihan gerak tubuh masing-masing pihak. Tampak sekali ada yang kurang Indonesia! dan saya terus terang malu sebagai calon pemilih, sebagai orang Indonesia yang akan memilih! kok bisa-bisanya bangsa saya menghasilkan calon seperti ini? Bagi saya lagi-lagi, persoalan debat ini sama sekali bukan menguji ke-intelek-an masing masing kandidat. Tetapi lebih ingin menyaksikan secara langsung kelayakan mereka sebagai pribadi. Tampil dimuka umum selama 5 kali; waktu yang sempit untuk berkonsultasi dengan tim; waktu yang sempit untuk melihat point catatan dll. Akan membuat mereka menampilkan dirinya yang sejati. Tanpa polesan, dan kepribadian yang muncul itulah yang akan mengatur-memimpin kita selama 5 tahun kedepan. 5 tahun lho! 5 tahun! Jika selama ini masing-masing pihak cenderung genit dan kemayu untuk mengadu "kampanye hitam", pada setiap sesi ke 5 ini lah akan tampak kepribadian masing-masing mereka. Rasanya tak cukup adail bagi saya untuk mengungkapkan secara detil sesuatu yang saudara sebangsa lihat sendiri juga (lagi pula ini sudah masuk masa tenang, setiap orang Indonesia wajib menjaga itu :) ) Tetapi saya yakin saudara semua juga bisa melihat kepribadian masing-masing kandidat tadi malam.
Diluar konteks komentar saya diatas, ada hal yang saya pelajari betul, "persiapan besar kita, seringkali gagal karena lupa memperhatikan persiapan kecil yang remeh temeh"
Akhirnya, bagi saudara sebangsa, Se-Indonesia. Selamat memilih, pilihlah pemimpin yang betul-betul anda butuhkan 5 tahun kedepan, jangan sampai menyesal, membuang waktu yang tak mungkin kembali. Ingat resiko kegagalan anda memilih bukan anda saja yang menanggung. Tapi anak-cucu-dan keturunan kita kelak, Bangsa Indonesia dimasa depan itu!

Merdeka!
Abah.Dr+

Tidak ada komentar:

Posting Komentar